TRISNO MARSA
ULUMUL HADIS
PENDAHULUAN
Secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadis Kata ‘uliim adalah bentuk jamak dari kata ‘ilm (ilmu). Dalam hubungannya dengan pengetahuan tentang hadis, ada ulama yang menggunakan bentuk ‘ulum al-1:hadis, seperti Ibnu Salah (ahli hadis; w. 642 H/1246 M) dalam kitabnya ‘Ulum al-hadis, dan ada juga yang menggunakan bentuk ‘ilm al-hadis, seperti Jalaluddin as-*Suyuti dalam mukadimah kitab hadisnya Tadrio ar -Rawiy. Penggunaan bentuk jamak disebabkan ilmu tersebut bersangkut-paut dengan hadis Nabi SAW yang banyak macam dan cabangnya. Hakim an-Naisaburi (321 H/933 M-405 H/1014M), misalnya, dalam kitabnya Ma’rifah ‘Ulum al-hadis mengemukakan 52 macam ilmu hadis. Muhammad bin Nasir al-Hazimi, ahli hadis klasik, mengatakan bahwa juimlah ilmu hadis mencapai lebih dari 100 macam yang masing-masing mempunyai objek kajian khusus sehingga bisa dianggap sebagai suatu ilmu tersendiri.Hasbi ash-Shiddieqy, tokoh hadis Indonesia, mengatakan bahwa ilmu hadis adalah ilmu yang berpautan dengan hadis Nabi SAW. Pemyataannya ini selain bertolak dari makna lugawi- (bahasa) juga mengisyaratkan bahwa ilmu-ilmu yang bersangkut- paut dengan hadis Nabi SAW itu banyak macam dan cabangnya.Kajian llmu Hadis. Secara garis besar ulama hadis mengelompokkan ilmu-ilmu yang bersangkut-paut dengan hadis Nabi SAW tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah ( ‘ilm al-QadIs riwayah) dan ilmu hadis dirayah ( ‘ilm al-QadIs dirayah).
Ilmu Hadis Riwayah. Ilmu yang mempelajari cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadis Nabi SAW. Objek kajiannya ialah hadis Nabi SAW dari segi periwayatan dan pemeliharaannya yang meliputi:
1. Cara periwayatannya, yakni bagaimana cara penerimaan dan penyampaian hadis dari seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain;
2. Cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadis. Ilmu ini tidak mem-bicarakan kualitas sanad, sifat rawi, dan cacat yang terdapat pada matan dan lainnya.
Ilmu hadis riwayah bertujuan untuk memelihara hadis Nabi SAW dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam hal penulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut ilmu ini juga bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri teladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Ahzab (33) ayat 21 yang artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu ” Dengan dibukukannya hadis Nabi SAW dan selanjutnya dijadikan rujukan oleh ulama yang datang kemudian, maka pada periode selanjutnya ilmu hadis riwayah tidak lagi banyak berkembang. Berbeda halnya dengan ilmu hadis dirayah yang senantiasa berkembang dan melahirkan berbagai cabang ilmu hadis. Oleh karena itu, pada umumnya yang dibicarakan oleh ulama hadis dalam kitab-kitab ulumul hadis yang mereka susun adalah ilmu hadis dirayah. Dalam perkembangannya, istilah ulumul hadis menjadi sinonim bagi ilmu hadis dirayah. Selain itu, ilmu hadis dirayah disebut juga musta1ahuh al-hadis (ilmu peristilahan hadis) atau ‘ilm usul al-hadis (ilmu dasar hadis).
Ilmu Hadis Djrayah. Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain. Sasaran kajian ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas hadis tersebut. Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut naqd as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstem. Disebut demikian karena yang dibahas ilmu itu adalah akurasi (kebenaran) jalur periwayatan, mulai dari sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menulis dan membukukan hadis tersebut. Pokok bahasan naqd as-sanad adalah sebagai berikut:
1. Ittisal as-sanad (persambungan sanad). Dalam hal ini tidak dibenarkan adanya rangkaian sanad yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya ( wahm) atau samar.
2. Siqah as-sanad, yakni sifat ‘adl (adil), dabit (cermat dan kuat), dan siqah (terpercaya) yang harus dimiliki seorang periwayat.
3. S.yaii, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang siqah tetapi menyendiri dan bertentangan dengan hadis yang diriwavatkan oleh periwayat-periwayat siqah lainnva
4. ‘Illah, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang kelihatannya baik atau sempurna. Syazz dan ‘illah adakalanya terdapat juga pada matan dan untuk menelitinya diperlukan penguasaan ilmu hadis yang mendalam.
Tujuan dan faedah ilmu hadis dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan maqbul(diterima) dan mardad (ditolak)-nya suatu hadis. Dalam perkembangannya, hadis Nabi SAW telah dikacaukan dengan munculnya hadis-hadis palsu yang tidak saja dilakukan oleh musuh-musuh Islam, tetapi juga oleh umat Islam sendiri dengan motif kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Oleh karena itu, ilmu hadis dirayah ini mempunyai arti penting dalam usaha pemeliharaan hadis Nabi SAW. Dengan ilmu hadis dirayah dapat diteliti hadis mana yang dapat dipercaya berasal dari Rasulullah SAW, sahih, daif, dan palsu.
CABANG ILMU HADIS
Di samping kitab ulumul hadis yang bersifat umum, dalam perkembangan selanjutnya muncul pula kitab ulumul hadis yang bersifat khusus, yakni kitab yang membahas satu cabang ilmu hadis tertentu dengan pembahasan yang lebih luas dan mendalam. Ilmu hadis dirayah memiliki cabang-cabang yang berkaitan dengan sanad, rawi, dan matan hadis. Cabang-cabang yang berkaitan dengan sanad dan rawi yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut :
1. ‘Ilm rijal al-hadis, Yakni ilmu yang mengkaji keadaan para rawi hadis dan perikehidupan mereka, baik dari kalangan sahabat, tabiin maupun tabi’ at- tabi’fn, dan generasi sesudahnya. Bagian dari ‘ilm rijal al-hadis ini adalah ‘ilm tarikh rijal al-hadis Ilmu ini secara khusus membahas perihal para rawi hadis dengan penekanan pada aspek-aspek tanggal kelahiran, nasab atau garis keturunan, guru sumber hadis, jumlah hadis yang diriwayatkan, dan murid-muridnya. Di antara kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini ialah al-Isti’ab fi Ma’rifah al- Ashab karya Ibnu Abdul Bar (w. 463 H), al-Isab fi Tamyiz as-Sahab dan Tahzib at- Tahzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani, serta Tahzib al-Kamal karya Abul Hajjaj Yusufbin az-Zakki al-Mizzi (w. 742 H).
2. ‘Ilm al-jarh wa at-ta’dil, yakni ilmu yang membahas hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak. Muhammad Ajaj al-Khatib, ahli hadis kontemporer dari Suriah, mengelompokkan sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat tercela para periwayat masing-masing ke dalam enam tingkatan dan setiap tingkatan dilambangkan dengan istilah-istilah tertentu.Untuk sifat-sifat terpuji digunakan istilah ausaq an-nas (orang yang paling dipercaya, baik kepribadian maupun hafalannya), la yus’al ‘anh (tidak perlu dipertanyakan lagi), siqah-siqah (tepercaya kuat), sabat (kokoh), la ba’sa bih (tidak masalah) dan laisa bi ba’id min as- sawwab (tidak jauh dari kebenaran). Untuk sifat-sifat tercela digunakan istilah akzab an-nas (manusia paling pendusta), muttaham kazib (suka berdusta), muttaham bl al-kai[b (dituduh berdusta). la yuktab hadisuh (tidak perlu ditulis hadisnya), la yuhtajj bih (tidak dapat dijadikan hujah), dan fIhi maqal (dipertanyakan). Untuk periwayat yang memiliki sifat terpuji hadisnya dapat diterima dengan peringkat kehujahan sesuai dengan peringkat sifat terpuji yang dimilikinya. Sebaliknya, periwayat yang memiliki sifat tercela hadisnya ditolak dengan peringkat penolakan sesuai dengan peringkat sifat jelek yang dimilikinya. Kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini antara lain al-Jarh wa at- Ta dill karya Ibnu Abi Hatim ar-Razi (w. 328 H) dan al-Jar~ wa at-Ta’di1 karya Muhammad Jamaluddin bin Muhammad bin Sa ‘id bin Qasim al-Qasimi.
3. ‘Ilm ‘ilal al-hadis, yakni ilmu yang membahas perihal cacat tersembunyi yang mungkin terdapat dalam suatu hadis yang keberadaannya dapat menjatuhkan nilai hadis yang secara lahir tampak sahih. Misalnya, hadis yang tampak muttasil (hadis yang sanadnya menyambung sampai kepada Nabi SAW atau sahabat) setelah diteliti lebih jauh temyata munqati’ (hadis yang salah seorang periwayatnya gugur tidak pada sahabat, tetapi bisa terjadi pada periwayat yang di tengah atau di akhir) .Untuk dapat mempelajari cacat tersembunyi ini diperlukan penguasaan ilmu ‘ilm ‘ilal al-hadis secara mendalam karena masalah yang menjadi objek kajiannya lebih rumit.Kitab-kitab terkenal di cabang ini di antaranya ’1lal al-Hadis oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razi, al- ‘I1al oleh Imam at-*Tirmizi, dan al- ‘I1al al-Mutananiyah fI al-Ahadis al-Wahiyah oleh Ibnu al-Jauzi (510-97 H).
4. ‘I1m garib al-hadis, yakni ilmu yang membahas masalah kata atau lafal yang terdapat pada matan hadis yang sulit dipahami, baik karena kata atau lafal tersebut jarang sekali dipakai, nilai sastranya yang tinggi, maupun karena sebab yang lain. ‘I1m garib al-hadis ini mempunyai arti penting dalam memahami maksud hadis dengan baik dan tepat karena sering kali suatu lafal tidak dapat dipahami sesuai dengan maknanya yang umum dikenal (makna lahiriah) sehingga harus dipahami dengan makna tersendiri agar maksud yang dituju oleh hadis tersebut dapat diungkap dengan baik dan tepat. Ilmu inilah yang mengantarkan seseorang untuk dapat menemukan makna yang tepat tersebut. Ulama perintis di bidang ini adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Mussana at- Taimi (w. 210 H) dan kemudian Abu al-Hasan an-Nadr bin Syunail al-Mazini (w. 203 H). Keduanya telah menulis kitab tentang garib al-hadis. Namun, Muhammad Adib Salih (ahli hadis kontemporer dari Suriah) mengatakan bahwa kitab tersebut merupakan kitab kecil dan banyak masalah yang belum terdapat di dalamnya. Kitab yang terkenal ialah al-Fa’ iq fiGarib al-hadis karya Abu Kasim Mahmud bin Umar az-*Zamakhsyari dan an-Nihayah ff Gario al-ljadls karya Majduddin Abu as-Sa ‘adah al-Mubarak bin Muhammad yang terkenal dengan nama Ibnu Asir (544-606H).
5. ‘IIm asbab al-wurud al-hadis, yakni ilmu yang membahas sebab atau hal-hal yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis. Sebab atau hal tersebut adakalanya berupa pertanyaan yang dilontarkan oleh sahabat, lalu Rasulullah SAW memberikan jawabannya, dan adakalanya berupa peristiwa yang disaksikan atau dialami sendiri oleh Rasulullah SAW bersama sahabatnya, kemudian beliau menjelaskan hukumnya.Hadis-hadis yang mempunyai * asbab al- wurud ini harus dipahami sesuai dengan keter- ikatannya dengan sebab atau hal-hal yang melatarbelakangi munculnya hadis tersebut. Ilmu ini bertujuan mengantarkan seseorang untuk dapat memahami hadis sesuai konteksnya. Ulama yang dipandang sebagai perintis dalam bidang ilmu ini adalah Abu Hafs Umar bin Muhammad bin Raja al-Ukbari (380-458 H), dan kitab yang terkenal dalam bidang ini ialah al-Bayan wa at- Ta ‘rif fi Asbab Wurud al-hadis asy-Syarlf karya Syarib lbrahim Muhammad bin Kamaluddin al-Husaini al-Hanafi ad-Dimasyqi yang lebih terkenal dengan nama Ibnu Hamzah ( 1054 -1112 H).
6. ‘IIm mukhtalif al-hadis, yakni ilmu yang mem- bahas hadis-hadis yang secara lahir tampak saling bertentangan. Ilmu ini mempunyai arti penting dalam mengantarkan seseorang untuk dapat menyelami makna filosofis suatu hadis, karena pada tingkat makna filosofis tidak mungkin hadis-hadis Rasulullah SAW benar-benar bertentangan satu sama lain. Apabila tampak bertentangan, maka pertentangan itu hanyalah pada makna lahiriahnya, bukan pada maksud sesungguhnya yang dituju.Ulama perintis di bidang ini ialah Imam asy-Syafi ‘i dengan karyanya Mukhtalif al-hadis. Kemudian muncul pula Abu Muhammad Abdullah bin Muslim ad-Dinawari bin Qutaibah atau Ibnu Qutaibah (213 H/828 M-276 H/889 M) dengan kitabnya Ta’wi1 Mukhtalif al-Hadis dan Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad at- Tahawi (239-321 H) dengan kitabnya Musykil al-ljadls.
7. ‘IIm nasikh wa mansukh al-hadis, yakni ilmu yang membahas penyelesaian hadis-hadis yang ber – tentangan dan tidak dapat dikompromikan. Ilmu ini mempelajari sejarah munculnya hadis-hadis yang bertentangan tersebut untuk mengetahui mana di antaranya yang lebih dahulu muncul dan yang kemudian. Penyelesaian dilakukan dengan kaidah an-nasikh, yaitu hadis yang datang kemudian membatalkan ha- dis yang datang lebih dahulu. Selanjutnya, hadis yang membatalkan dijadikan hujah dan diamalkan,sedangkan hadis yang dibatalkan/dihapus ditinggalkan. Kitab-kitab terkenal di bidang ini antara lain NasiKh al-hadis wa Mansukhih karya Abu Hafs Umar bin Ahmad bin Usman yang terkenal dengan nama Ibnu Syahin (297-385 H) dan al-I’tibar fi an-NasiKh wa al-Mansukh min al-Asar karya Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi (547-584 H).
8. ‘I1m takhrij al-Qadis,yakni ilmu yang membahas kualitas hadis. Ilmu ini membicarakan cara yang harus ditempuh dalam mencari dan menemukan hadis di dalam kitab-kitab sumber asli yang memuatnya serta menerangkan kualitas sanad yang mendukung periwayatan hadis tersebut.Yang dimaksud dengan kitab hadis sumber asli adalah kitab hadis yang ditulis langsung oleh periwayat dengan memaparkan jalur sanadnya secara utuh, seperti al-kutub as-sittah (kitab hadis yang enam, yaitu sahih al-Bukhari -sahih -mus lim, Sunan Abi Dawud, sunan at- Tarmizi Sunan an- Nasa’i dan Sunan Ibn Majah), al-Muwatta’ oleh Imam *Malik, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, dan Sunan ad-Darimi ‘I1m takhrij al-Hadis bertujuan mengantarkan seseorang untuk menelusuri kualitas sanad hadis dengan meneliti nama-nama periwayat yang terdapat dalam jalur sanadnya.Kitab-kitab penting di bidang ini di antaranya Turuq Takhrij hadis Rasulillah karya Abu Muhammad Abdul Hadi (ahli hadis kontemporer dari Mesir) dan Usul at- Takhrij wa at- Takhrij wa Dirasah al-Asanid karya Mahmud at- Tahhan (ahli hadis kontemporer dari Mesir).
Senin, 23 Februari 2009
HADÎTS: PENGERTIAN, SINONIM, BENTUK-BENTUK, DAN STRUKTURNYA
Yusrizal Efendi, S.Ag., M.Ag.
A. Pengertian Hadîts
Menurut Abû al-Baqâ’ sebagaimana dikutip oleh al-Qasîmî ([t.th]: 61), kata hadîts dalam bahasa Arab “hadîts” merupakan bentuk isim (noun) dari “tahdîts” dan bentuk tunggal (singular) dari kata “ahâdîts”. Diungkap oleh ‘Ajjâj al-Khathîb (1989: 26) dan Muh. Zuhri (1997: 1) artinya secara etimologi adalah jadîd (baru), qarîb (dekat), dan khabar (kabar, berita, perkataan, keterangan). Bagi al-Zamakhsyarî sebagai dikutip Syuhudi Ismail (1994: 1), Hadîts disebut sebagai “hadîts” antara lain karena ungkapan periwayatannya “haddatsanî anna anl-Nabî shalla Allâh ‘alayhi wa sallam qâla...”. Penyebutan hadîts dengan arti jadîd dan qarîb juga merupakan konsekuensi logis dari menyebut al-Qur`ân dengan qadîm (lama, terdahulu) dan ba’îd (jauh), karena bersumber dari Allâh SWT, sementara hadîts hanya bersumber dari utusan-Nya.
Adapun penyebutan hadîts dengan khabar; yaitu sesuatu yang diperbincangkan dan dipindahkan dari sesorang kepada orang lainnya dihubungkan dengan kata tahdîts yang berarti riwâyat, ikhbâr (meriwayatkan, mengabarkan). Allâh SWT pun menggunakan kata hadîts dengan pengertian ini, misalnya: maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (kalimat) yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar (QS. Al-Thûr/52: 34), apakah telah sampai kepadamu khabar (kisah) Musa? (QS. Thâhâ/20: 9), dan Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur`ân yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang (QS. Al-Zumar/39: 23).
Di samping itu, Syuhudi Ismail (1994a: 7) menjelas-kan bahwa pemaknaan istilah hadîts juga mengalami perkembangan. Pada mulanya, kata ini berarti “kabar dan kisah” baik baru ataupun lama, seperti ungkapan Abû Hurayrah “aturîdûna an uhadditsakum bi hadîtsin min ahâdîtsikum”. Kemudian, kata hadîts diartikan dengan pesan keagamaan secara umum, seperti HR. Muslim dari Jâbir ibn ‘Abd Allâh:
...أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ...
Artinya: “... adapun sesudah itu, sebaik-baik hadîts (berita) adalah Kitâb Allâh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ...” (Shahih Muslim, IV: 359, hadits 1435)
Setelah itu, baru istilah hadîts secara khusus dimaknai dengan Hadîts Nabawî, sebagaimana HR. Al-Bukhârî dari Abî Hurayrah, saat ia bertanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
Artinya: “Ya Rasûlullâh, siapakah manusia yang paling berbahagia dengan syafaat Engkau di hari kiamat”? Rasûlullâh SAW bersabda: “Wahai Abû Hurayrah, sungguh aku kira, belum ada seorang pun yang menanyakan berita ini lebih dahulu darimu. Aku lihat, engkau termasuk orang yang bersemangat terhadap hadîts (nabawî). Manusia yang paling berbhagia dengan syafatku di hari kiamat kelak adalah orang yang mengucapkan Lâ Ilâha illa Allâh (TiadaTuhan selain Allâh) dengan ikhlas dari hati atau jiwanya”. (Shahih al-Bukhari, I: 174, hadits 97)
Secara terminologi, Abû al-Baqâ’ dalam al-Qasîmî ([t.th]: 61), mendefinisikan hadîts sebagai cerita atau berita yang bersumber dari Nabi Muhammad baik berupa qawl (perkataan, ucapan, sabda), fi’l (perbuatan, kelakuan), maupun taqrîr-nya (ketetapan, persetujuan, anggukan, diamnya). Senada dengan itu, Rif’at Fawzî (1978: 10) memaknai hadîts dengan “apa saja yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa qawl (perkataan, ucapan, sabda), fi’l (perbuatan, kelakuan), maupun taqrîr-nya (ketetapan, persetujuan, anggukan, diamnya), maupun sifatnya”. Definisi yang lebih lengkap diungkap oleh Mushthafa al-Sibâ’î (1976: 47) dan Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb (1989: 19) yaitu “segala sesuatu yang berasal dari Rasûlullâh SAW, baik berupa qawl (perkataan, ucapan, sabda), fi’l (perbuatan, kelakuan), maupun taqrîr-nya (ketetapan, persetujuan, anggukan, diamnya), sifatnya, baik fisik-jasmaniah maupun akhlak-moralitas, ataupun sîrah (perjalanan hidup) beliau, baik itu sebelum beliau diutus sebagai Rasul --seperti ber-tahannuts (beribadah) di Gua Hira`-- maupun sesudahnya.
Dalam penerapannya, ulama Ushûl nampaknya cenderung menggunakan istilah hadîts dalam term Sunnah berupa Qawliyah (sabda Nabi). Mereka menilai bahwa Sunnah lebih luas cakupannya ketimbang hadîts (‘Ajjâj al-Khathîb, 1989: 27). Adapun Abdur Rauf sebagai dikutip Syuhudi Ismail (1994: 3), menerangkan bahwa hadîts mencakup hadîts Nabi, hadîts qudsî, surat yang dikirim Nabi ke berbagai daerah, sifat-sifat, perbuatan, dan akhlak Nabi yang diriwayatkan oleh shahâbat, serta perbuatan shahâbat yang dibiarkan oleh Nabi.
B. Sinonim Istilah Hadîts: Sunnah, Khabar, dan Atsar serta Perbedaannya dengan Hadits
Selain istilah hadîts, ada beberapa istilah lain yang juga bermakna sama. Di antara istilah dimaksud adalah:
1. Sunnah
Secara etimologi, menurut Ibrâhim Thâhûn (1991: 5), kata Sunnah berarti al-Tharîqat wa al-sîrat hasanatan kâna aw sayyi`atan (cara atau jalan hidup, baik terpuji maupun tercela). Dalam konteks ini, Ibn Hajr al-‘Asqalânî menyebutkan arti sunnah sebagai “tatacara atau aturan” sebagaimana HR. Al-Bukhârî dari Anas ibn Mâlik:
... فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Artinya: “... Barangsiapa yang benci terhadap tatacara atau aturan (sunnah)ku, maka ia bukanlah golongan (umat)ku”. (Shahih al-Bukhari, XV: 493, hadits 4675)
Muh Zuhri (1997: 4-5) juga menyebutkan bahwa makna lain dari sunnah yaitu “jalan yang ditempuh, kemudian diikuti orang lain, atau arah, peraturan, mode, cara berbuat, sikap hidup, dan kebiasaan (tradition). Maksudnya segala sesuatu yang pernah dilakukan oleh Rasûlullâh seolah menjadi kebiasaannya dan menjadi teladan kehidupan beliau. Makna ini sejalan dengan sabda Rasûlullâh sebagaimana diriwayatkan Muslim dari Jarîr ibn ‘Abd Allâh:
...مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Artinya: “... Barangsiapa yang mengadakan kebiasaan yang baik (positif) dalam Islam, maka baginya pahala (amalan)nya ditambah pahala orang-orang yang mengamalkan kebiasaannya, tanpa sedikit pun mengurangi pahala mereka. Barangsiapa yang mengadakan kebiasaan yang jelek (negatif) dalam Islam, maka atasnya dosa amalannya ditambah dosa orang-orang yang mengamalkan kebiasaannya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka”. (Shahih Muslim, V: 198, hadîts 1691)
Makna yang senada juga terdapat dalam HR. Al-Bukhârî dari Abî Sa’îd al-Khudrî:
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
Artinya: “Sungguh kamu akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang sebelummu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka memasuki sarang dab (seupa biawak), sungguh kamu memasukinya juga. Kami bertanya, “Ya Rasûlullâh, apakah mereka Yahudi dan Nasrani?”. Beliau menjawab: “Siapa lagi?”. (Shahih al-Bukhârî, XXII: 298, hadîts nomor 6775)
Di samping itu, Syuhudi Ismail (1994a: 14) juga menjelaskan bahwa dalam rentang sejarah pemaknaan istilah sunnah pun cenderung mengalami perkembangan. Masyarakat Arab dahulu hingga abad I H, mengartikan sunnah sebagai jalan yang ditempuh oleh dalam kehidupan, baik secara induvidual maupun kolektif. Baru pada abad II H, dipelopori oleh Imam al-Syâfi’î populer penyebutan istilah sunnah dalam term Sunnah Nabi. Selanjutnya, pada abad IV H, ulama kalam (mutakallimîn) mendefinisikan sunnah dalam makna yang lain, yaitu i’tikad yang didasarkan pada keterangan Allâh dan Rasul-Nya, bukan kepada rasio semata (ahl al-sunnah).
Adapun definisi Sunnah secara terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam merumuskannya karena perbedaan disiplin keilmuan dan perbedaan obyek bahasan atau sudut pandangnya (side of preview). Menurut ulama hadîts, Rasûlullâh adalah pribadi teladan bagi umatnya dalam berbagai aspek kehidupannya. Dalam konteks ini, mereka “menyamakan” rumusan sunnah dengan hadîts sebagaimana telah dikutip sebelumnya.
Sementara itu, ulama ushûl memandang Rasûlullâh sebagai pengatur Undang-undang yang menjelaskan aturan hidup bagi manusia dan meletakkan dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid yang datang sesudahnya. Sejalan dengan obyek bahasan mereka, yaitu dalil-dalil syara’, maka mereka memaknai sunnah dengan “segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW selain al-Qur`ân al-Karim baik berupa qawl (perkataan, ucapan, sabda), fi’l (perbuatan, kelakuan), maupun taqrîr-nya (ketetapan, persetujuan, anggukan, diamnya) yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syara’. (‘Ajjâj al-Khathîb, 1989: 19)
Adapun ulama fiqh membahas tentang hukum-hukum syara’ dan memberi pengertian hukum kepada setiap individu. Mereka mendefiniskan sunnah dengan “dengan segala sesuatu yang telah terbukti dari Nabi SAW, bukan termasuk pengertian fardhu atau wajib dalam agama, dan bukan pula bersifat taklîf (pembebanan), melainkan hanya berupa “anjuran”. (Muhammad ibn Alawi, 1995: 14). Lain lagi, ulama dakwah, mereka cenderung memposisikan sunnah sebagai lawan dari bid’ah. Hal ini disebabkan karena pembahasan mereka adalah memperhatikan perintah dan larangan syara’. (Abû Zahw, [t.th]: 9).
Pada sisi lain, Syuhudi Ismail (1994a: 14-16) mengemukakan adanya perbedaan spesifik maksud istilah sunnah dan hadîts sebagai dapat dilihat dari jabaran dalam tabel berikut:
Nama Ulama Penjelasan maksud istilah
Hadîts Sunnah
Sulayman al-Nadwî Segala peristiwa yang dinisbahkan kepada Nabi SAW, walaupun hanya sekali beliau kerjakan dan hanya diriwayatkan seoang periwayat Nama bagi sesuatu yang kita terima dari secara mutawatir dari Nabi SAW
A. Qadir Hasan Berhubungan dengan masalah yang bernuansa teoritis (nazharî) Berhubungan dengan masalah yang bersifat praktis (amalî)
Ibn al-Humâm Riwayat berupa sabda Nabi Riwayat berupa sabda dan perbuatan Nabi
Tawfiq Shidqi Sabda Nabi yang diriwayatkan secara ahad, terbatas orang yang mengetahuinya, dan tidak menjadi amalan umum Tatacara dan prilaku Nabi yang diamalkan nya terus menerus dan diikuti oleh para shahâbat
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa: (1) Dari segi subyek yang menjadi sumber asalnya, yaitu Nabi SAW, maka hadîts sama dengan sunnah. (2) Ditilik dari kualitas amaliyah dan periwayatnya, status hadîts berada di bawah sunnah, (3) Ditinjau dari segi kekuatan hukumnya, bila lafal hadîts sengaja dipisah dari sunnah, maka urutannya adalah al-Qur`ân, Sunnah, dan hadîts.
2. Khabar
Secara etimologi, khabar berarti “berita”. Adapun menurut istilah, ada dua pendapat ulama tentang arti khabar, yaitu:
a. Menurut Shubhi al-Shâlih (1977: 10), sebagian ulama menyamakan khabar dengan hadits, yaitu apa yang datang dari Nabi, baik disandarkan kepada Nabi (marfû’), kepada shahabat (mawqûf), maupun kepada tabi’in (maqthû’). Adapun alasannya, dari segi bahasa arti hadits dan khabar adalah berita. Di samping itu, term perawi tidaklah terbatas bagi orang yang meriwayatkan berita dari Nabi saja, tetapi juga yang meriwayatkan berita dari shahabat dan tabi’in.
b. Menurut Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb dalam karyanya Ushûl al-Hadits: ‘Ulûmuhu wa Musthalahuhu” (1989: 27), sebagian ulama membedakan khabar dengan hadits. Hadits adalah apa yang berasal dari Nabi, sedangkan khabar adalah apa yang berasal dari selainnya. Implikasinya, orang yang menekuni hadits disebut muhaddits, sedangkan yang menggeluti sejarah disebut akhbari. Selain itu, hadits bersifat khusus dan khabar bersifat umum. Artinya, setiap hadits adalah khabar dan tidak setiap khabar adalah hadits.
3. Atsar
Secara etimologi, atsar berarti bekas, sisa sesuatu, atau nukilan.Karena itu, doa yang dinukilkan dari Nabi dinamai “Doa Ma`tsûr”. Adapun secara terminologi, ada dua pengertian atsar, yaitu:
a. Atsar sinonim dengan hadîts, sehingga ahli hadîts juga disebut atsari. Dalam hal ini, al-Thabari memakai term atsar untuk apa yang datang dari Nabi. Bahkan, al-Thahawi juga memasukkan apa yang datang dari shahabat.
b. Atsar berbeda dengan hadîts. Di mata ulama fiqh, atsar adalah perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in, dan sebagainya. Ulama Khurazan memaknai atsar sebagai perkataan shahabat, sedangkan ak-Zarkasyi memeakai term atsar untuk hadîts mawqûf, juga membolehkan pemakaiannya untuk hadits marfû’. (M. Syuhudi Ismail, 1994a: 10).
C. Bentuk-bentuk Hadîts
1. Hadits Qawli
Hadits qawli adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, ucapan, ataupun sabda yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan yang berkaitan dengan akidah, syariah, akhlak, atau lainnya. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah ibn al-Shamith bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Artinya: ”Tidak (sah/sempurna) shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah”. (Shahih al-Bukhari, III: 204, hadits 714)
2. Hadits Fi’li
Hadits fi’li ialah hadits yang menyebutkan perbuatan Nabi Muhammad saw yang sampai kepada kita. Misalnya hadits riwayat al-Bukhari dari Jabir ibn ‘Abd Allah:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَة
Artinya: ”Rasulullah saw pernah shalat di atas tunggangannya, ke mana pun tunggangannya menghadap. Apabila ia mau melaksanakan shalat fardhu, ia turun dari tunggangannya, lalu menghadap ke kiblat ”. (Shahih al-Bukhari, III: 204, hadits 714)
3. Hadits Taqriri
Maksud hadits taqriri ialah Penetapan (Taqririyyah) yaitu perkataan atau perbuatan tertentu yang dilakukan oleh sahabat di hadapan Nabi Muhammad atau sepengetahuan beliau, namun beliau diam dan tidak menyanggahnya dan tidak pula menampakkan persetujuannya atau malahan menyokongnya. Hal semacam ini dianggap sebagai penetapan dari Nabi Muhammad walaupun beliau dalam hal ini hanya bersifat pasif atau diam. Sebagai contoh, pengakuan Nabi Muhammad terhadap ijtihad para sahabat berkenaan dengan shalat Ashar di perkampungan Bani Quraizhah, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Abd Allah Ibn Umar:
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
Artinya: “Janganlah salah seorang (di antara kamu) mengerjakan shalat Ashar, kecuali (setelah sampai) di perkampungan Bani Quraizhah. Lalu sebagian mereka mendapati (waktu) ‘Ashar di perjalanan. Sebagian mereka mengatakan, kita tidak boleh shalat sehingga sampai di perkampungan, dan sebagian lainnya mengatakan, tetapi kami shalat (dalam perjalanan), tidak ada di antara kami yang membantah hal itu. Hal itu lalu dilaporkan kepada Nabi saw, ternyata beliau tidak menyalahkan seorang pun dari mereka”. (Shahih al-Bukhari, III: 499, hadits 894)
4. Hadits Hammi
Hadits hammi adalah hadits yang menyebutkan keinginan Nabi saw yang belum sempat beliau realisasikan, seperti halnya keinganan untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura sebagai diriwayatkan dari ‘Abd Allah ibn ‘Abbas:
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Sewaktu Rasulullah saw berpuasa pada har ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”. Rasulullah saw menjawab, ”Tahun yang akan datang, insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan(nya)”. ‘Abd Allah ibn ‘Abbas mengatakan, “Belum tiba tahun mendatang itu, Rasulullah saw pun wafat”. (Shahih Muslim, V: 479, hadits 1916)
5. Hadits Ahwali
Hadits ahwali adalah hadits yang menyebutkan hal ihwal Nabi saw yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat, dan kepribadiannya. Contohnya, pernyataan al-Barra` ibn ‘Azib berikut ini:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَأَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيلِ الْبَائِنِ وَلَا بِالْقَصِي
Artinya: “Rasulullah saw adalah manusia memiliki sebaik-baik rupa dan tubuh. Kondisi fisiknya, tidak tinggi dan tidak pendek ”. (Shahih al-Bukhari, XI: 384, hadits 3285)
D. Struktur Hadîts
Secara struktur hadits terdiri atas tiga komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur), matan (redaksi), dan mukharrij/rawi (periwayat). Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (I: 21, hadits 12):
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه [رواه البخاري]
Artinya: (al-Bukhari meriwayatkan) Musaddad telah me-nyampaikan hadits kepada kami. Ia mengatakan, Yahya telah menyampaikan hadts kepada kami (sebagaimana berasal) dari Syu'bah, dari Qatadah dari Anas ra dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (HR. al-Bukhari)
Dalam hal ini, sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya, maka sanad hadits bersangkutan adalah Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya. Lapisan dalam sanad itu disebut thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut. Hal ini akan dijelaskan lebih jauh dalam bahasan pembagian (klasifikasi) hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah: (1). Keutuhan sanadnya, (2). Jumlahnya, dan (3). Perawi akhirnya (mukharrij/rawi) yaitu ulama yang mengeluarkan, mencatat, atau meriwayatkan hadits dalam kitab yang disusunnya. Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi, mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.
Adapun matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya, maka matan hadits bersangkutan ialah: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri". Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan. Kemudian matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan), dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
Sementara itu, Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits yang pernah ia dengar dari seseorang yang menjadi gurunya dalam kitab yang disusunnya. Istilah lainnya adalah mukharrij atau mudawwin yaitu ulama hadits yang mengeluarkan, mencatat, atau meriwayatkan hadits dalam kitab yang disusunnya. Pada dasarnya antara sanad dan rawi adalah dua istilah yang tidak terpisahkan. Sanad hadits pada setiap thabaqat [tingkatan] juga disebut rawi, dalam pengertian orang yang memindahkan atau meriwayatkan hadits. Perbedaan antara rawi dan sanad terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadits.